Gambaran emansipasi wanita, sejatinya bukanlah untuk membuat bertekuk
lutut kaum pria melalui senjata semacam kerlingan. Bukan mengumbar berbagai
tuntutan hak secara membabi buta yang bisa membutakan mata hati kaum pria.
Bukan pula untuk meraih hak persamaan yang kerap didengang-dengungkan sebagai
gerakan “woman libs” atau gerakan
keadilan gender hasil produk dunia barat. Tetapi aktualisasi emansipasi wanita
kini adalah bagaimana agar kehadirannya mampu pula menghasilkan konsep-konsep
jitu dan realistis di pelbagai aspek kehidupan masyarakat. Bukan ikut tandem
kepada pria sukses dan berkepribadian. Apalagi dengan cara mengumbar aibnya
sendiri.
Memang benar,
inspirasi yang dibangkitkan para pejuang wanita itu ibarat api yang membara
dalam sekam. Terus menerus berkobar, memancarkan cahaya dan citra diri kaum
wanoja. Sudah tidak aneh lagi, setiap organisasi mempunyai departemen atau
seksi khusus yang menampung aspirasi kaum wanita, sebagai salah satu wahana
untuk mengembangkan kemandiriannya. Masalahnya terpulang pada kaum wanita
sendiri, mampukah memanfaatkan setiap peluang yang terkuak lebar itu seoptimal
mungkin. Seberapa jauh mampu membekali diri, baik secara fisik, mental, sosial,
dan intelektualnya untuk berpacu dengan setiap tantangan yang dihadapinya.
Bukan dengan cara fitnah sini, hujat sana.
Kita tak perlu menutup mata bahwa kesadaran akan hak dan kewajiban wanita
mulai tumbuh subur. Bangkit secara pasti, menuai citra dirinya sebagai “tiang
negara”. Kondisi ini dimungkinkan oleh semakin meningkatnya tingkat pendidikan
dan pengetahuannya. Ini berarti pula modal dasar untuk mengembangkan
kemandirian sesungguhnya telah ada. Oleh karena itu, ia harus memiliki pilihan
profesi yang jelas dalam andilnya terhadap pembangunan. Bahkan harus terpanggil
pula untuk meleburkan diri dalam pengabdian bagi saudara sekaumnya yang
bernasib kurang beruntung. Bukan malah mencari untung untuk beraji-mumpung pada
suami orang yang sedang beruntung.
Padahal budaya kita telah bergulir. Tidak lagi memandang wanita sebagai
makhluk yang harus dijajah atau dijadikan sangkar madu. Namun telah memberi
tempat terhormat pada kedudukannya. Bahkan menghargai sepenuhnya peranan wanita
dan ibu yang bersifat kodrati. Penghormatan seperti ini, memang bukan berarti
harus mengurangi tanggung jawab kaum pria dalam kehidupan keluarga dan
bermasyarakat. Tapi justru sebagai dampak kemajuan sekaligus buah pembangunan.
Modernisasi, jelas, membawa dampak nyata bagi kaum wanita. Memberikan
konsekuensi semakin beratnya tanggung jawab yang harus dipikul. Di satu sisi
tetap harus membina kehidupan rumah tangga sebagai tanggung jawabnya yang
terpenting. Namun di sisi lain dituntut peran nyata dan komitmennya dalam
mendorong kemajuan.
Boleh saja
kecantikan, pesona eksotik, dan kerlingan diekspresikan demi menggapai tujuan.
Namun harus tetap berada pada koridor moral dan nilai budaya bangsa yang sangat
dijunjung dan diagungkan. Artinya jangan sampai dijadikan senjata pamungkas
dalam merebut harta, posisi, hak dan kekuasaan. Sebab senjata wanita saat ini,
sekali lagi, adalah kematangan konsepnya, terjaga kualitas intelektualnya,
jembar cakrawala pengetahuannya, berjiwa sosial, idealis, adil, tak gampang
dirayu dan tak suka merayu, serta kepribadiannya memancarkan cahaya dan citra
diri wanita Indonesia yang lembut, penuh kharisma, dan tenggang rasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar